Selasa, 30 Juni 2009

PUASA (Di alam pikiran orang Jawa)


PUASA

(Di alam pikiran orang Jawa)

Ditulis oleh : Ki Kecubung Wulung Pitutur Jati

Bagi orang Jawa hidup yang bahagia itu bisa dicapai dengan mengharmoniskan dari dua kutup yang senantiasa melingkupi kehidupan setiap manusia. Walaupun agak klise tapi pada kenyataannya orang Jawa sangat meyakini bahwa di alam yang profan ini manusia terlahir dengan membawa dua kehidupan baik kehidupan bathiniah yang di kendalikan rasa (bathin) maupun kehidupan lahiriah yang di kendalikan oleh nepsu (nafsu) dan angkara.

Kepercayaan ini tercermin pada ajaran mistis Jawa yang amat terrkenal dengan sebutan sedulur papat kalimo pancer (saudara empat dan yang kelima pusatnya). Empat saudara yang di maksud adalah empat anasir (zat) pembentuk jasad manusia yaitu: air api, tanah, dan angin. Ke empat zat pembentuk jasad manusia itu juga melambangkan empat nafsu besar yang mengendalikan hidup manusia . Api adalah manifestasi dari nafsu amarah (marah), tanah adalah lambang kerakusan napsu luamah (makan), air mengendalikan nafsu supiah (nafsu sex) dan yang terakhir angin menegendalikan nafsu mutmainah (nafsu untuk berbuiat baik).

Ke empat nafsu yang merupakan pengejawantahan dari empat unsur dasar pembuat jasad manusia ini sepenuhnya mengendalikan kehidupan lahiriah manusia. Sedangkan si- pancer (pusat) saudara kelima dari manusia di yakini sebagai sejating aku (super ego) yang berasal dari Tuhan. Manusia tidak akan berbeda dengan binatang tanpa saudaranya yang kelima ini Karena saudara kelima ini adalah roh dari yang Maha Kuasa Orang jawa menyebutnya sebagai sukma sejati atau sejatining sukma atau rasa sejati. Karena dia adalah utusan Tuhan yang besifat suci baik dan benar, maka sukma sejati inilah yang mengendalikan kehidupan bathiniah manusia. Sukma sejati ini pula lah yang membangkitkan segala macam perasaan hati untuk menggambarkan kondisi kebathinan manusia dan juga suara hati yang selalu mengajak ke jalan kebaikan setiap kali manusia kilaf dan berada di jalan yang sesat.

Untuk mencapai kasampurnaning ngaurip ( kesempurnaan hidup) manusia harus menyeimbangkan dan menyelaraskan kedua kehidupan yang secara alamiah telah built in didalam kehidupan manusia itu. Bagi manusia kebanyakan kehidupan lahiriah atau duniawi yang di kendalikan oleh keempat nafsu diatas cenderung menggeser proporsi kehidupan batiniah yang di kendalikan oleh rasa sejati, sehingga tidak ada keseimbangan lahir bathin dalam diri manusia. Ketidakseimbangan antara kehidupan lahir dan bathin manusia, pada akhirnya hanaya akan menghasilkan ketidak tentraman hidup, was was, ketakutan dan berujung pada ketidakbahagiaan. Pada setadium yang parah, kalau keempat nafsu itu bisa menggilas dan mengeliminir rasa sejati, manusia akan kehilangan kemanuisaannya (ilang kamanungsane) dia takkan berbeda lagi dengan binatang, dia akan mengumbar nafsu angkaranya di mana saja. Dalam keyakinan Jawa, orang yang hidup seperti ini juga tak kan merasa bahagia, kehidupan jadi kering, jiwanya kerontang, ibararat orang haus dia tak akan pernah bisa terobati dengan seberapa banyak airpun yang dia minum. Dia akan jadi rakus dan tak pernah puas dengan yang banyak sekalipun.

Keyakinan Jawa mengajarkan untuk menyeimbangkan antara dua kehidupan tersebut agar manusia bisa hidup bahagia. Meper hawa nafsu (menegendalikan nafsu) adalah satu satunya cara agar kehidupan manusia tidak di dominasi kehendak nafsu yang akan melempar manusia ke kehidupan lahiriah yang serba megah tapi kering bathinya dan tumpul perasaannya. Puasa telah lama diyakini orang Jawa sebagai salah satu cara mengendalikan nafsu angkara murka. Karena puasa bisa menegendalikan nafsu nafsu rendah manusia. Selain itu puasa sangat di yakini oleh orang jawa bisa memepertajam kemampuan bathin manusia, karena bathin yang diajak puasa akan semakin hidup, bathin akan semakin peka terhadap kondisi lingkungan dan dan akan mampu merasakan penderitaan orang lain. Sehingga manusia akan memiliki tepo sliro dan akan mampu membuang semua aji mumpung. Dia tak akan pernah merugikan orang lain tapi malah akan besar keinginannya untuk menolong. Semakin tinggi tarap kehidupan bathiniah manusia semakin besar kemampuan bathin itu dalam segala hal, termasuk semakin peka terhadap hal hal yang bersifat gaib dan supranatural. Gambaran keyakinan ini bisa kita cermati dari tembang kinanthi (salah satu nama tembang) peninggalan leluhur orang jawa dibawah ini:

Podho gulangening kalbu, ing sasmito amrih lantip, ojo pijer mangan nendro, kapraweiran den kaesthi, pesunen sariraniro, cegahen dahar lan guling. Artinya ( pelajari dan tumbuhkan dalam hatimu, agar tajam kemampuan bathinmu, jangan hanya makan dan tidur, ketangguhan (bathin) harus dicari, paksalah dirimu, mencegah makan dan tidur.

Dari tembang di atas jelas bahwa puasa bagi orang Jawa bukan hanya sekedar tidak makan dan tidak minum, tetepi puasa adalah upaya untuk untuk menghidupkan bathin, untuk menyeimbangakan dengan kehidupan lahiriahnya sehingga tercapai kehidupan yang bahagia. Selain itu tembang di atas merefleksikan juga bahwa puasa bisa menggangkat derajat kehidupan manusia ketingkat yang paling tinggi.

Di alam kebathinan Jawa ada digolongkan tiga tingkat kehidupan yang dimiliki manusia: Pertama adalah tingkatan jono loka .Dalam dunia pewayangan Jonoloka adalah nama seorang cantrik (murid seorang begawan di pertapaan) dan ini adalah tingkatan hidup manusia yang paling rendah karena segala tindak tanduknya dalam hidup bermasyrakat masih sangat di kendalikan nafsu nafsu hewani. Maka dia digambarkan sebagai seorang cantrik karena dia harus masih banyak belajar tentang hidup dan kehidupan ini. Orang Jawa menggambarkan kehidupan manusia golongan jonoloka ini berada di alat kelamin manusia. Artinya pusat kehidupan manusia jenis ini masih berada di daerah vital itu. Dia hidup dari tempat itu dan hidup untuk tempat itu juga. Nafsu adalh satu satunya sumber dan orientasi hidupnya. Tidak lebih dan tidak kurang.

Maka tembang di atas mengajak manusia berpuasa untuk nggegulang kalbu (melatih batin) agar kehidupan manusia bisa naik derajat ke tingkatan kedua, yaitu tingkatan indraloka. Seperti yang kita ketahui di jagad pewayangan Bathara Indra itu adalah salah satu dewa di khayangan ngondar andir bawana. Orang Jawa yakin puasa yang benar bisa memepertajam bathin dan perasaan manusia. Manusia yang bisa olah rasa (menggunkan perasaan dan kata hatinya dalam bertindak) adalah manusia yang punya derajat dan martabat yang tinggi, karena dia sudah terlepas dari jeratan nafsu angkara. Maka dia digambarkan berada sederajat dengan Bathara Indra. Dalam diri manusia orang yang sudah peka bathinnya seperti ini sudah mengalihkan pusat hidupnya dari alat kelamin ke tempat yang lebih terhormat yaitu di dalam hati (indra). Orang seperti ini sudah terlepas dari sifat sifat buruk seperti iri dengki, bakhil, culas dan lain sebagainya. Tingkatan ini sangat diyakini oleh orang Jawa hanya bisa dicapai kalau manusia mau mengurangi nafsunya dengan jalan mencegah dahar lan guling (makan dan tidur) seperti tersurat dalam tembang di atas.

Selebihnya tembang kinanthi di atas juga menyiratkan bahwa puasa juga akan mengantar manusia pada penggunaan akal pikiran ( ing sasmitho amrih lantip). Penggunaan rasa dan perasaan dalam bertindak masih dimungkinkan membuat kesalahan dalam kehidupan, untuk itu orang jawa wajib juga menggunakan pikiran dalam menjalani roda kehidupan. Di sinilah letak perbedaan filsafat barat dan filsafat Jawa. Filsafat barat mengandalkan otak semata untuk berfikir dan memutuskan sesuatu tapi orang jawa mengharuskan orang melatih perasaannya dulu baru nanti mengasah logikanya. Orang jawa meyakini kepandaian kalau tidak berlandaskan perasaan dan kehidupan bathin yang suci, cuma akan dikendalikan nafsu yang termanifestasi dari saudara kita yang empat diatas. Kepandaian di sini tidak akan membawa kebahagian bagi kehidupan tapi hanya kan memebawa bencana bagi kehidupan manusia. Hal ini terbukti nyata kepandain dan tehnologi barat yang nota bene produk par excellent dari otak banyak di yakini merusak lingkungan, peradapan dan bahkan menghilangkan rasa kemanusiaan manusia. (dehumanisasi).

Masih menurut orang Jawa, bila manusia bisa menegendalikan pikirannya dengan roso (perasaan)-nya, maka dia adalah manusia yang bisa njumbuhake roso (mengaktualisasikan perasaan dalam tindakan) dan dialah manusia yang paling sempurna sebagai manusia. Dia berada ditingkatan yang tertinggi yaitu tingkatan guruloka. Guru loka adalah tempat bersemayamnya Bathara Guru, rajanya para dewa di khayangan dalam cerita wayang. Dan inilah puncak tertinggi pencapaian orang yang mau mencegah dahar lan guling (puasa) dalam dataran pikiran Jawa. Pada tingkatan ini manusia sudah mengalihkan pusat hidupnya bukan didada lagi tapi sudah di otak atau pikiran dan letaknya di kepala mausia. Manusia inilah yang oleh orang Jawa di sebut sebagai orang yang wis jowo (mengerti tentang kehidupan)

Derajat manusia tertinggi dalam khasanah budaya jawa adalah seorang raja. Dan puasa sangat di harapkan oleh semua orang Jawa untuk bisa membawanya menggapai kedudukan terhormat itu, bukan dalam arti denotatif tapi yang konotatif. Seperti kita ketahui tempat duduknya raja jawa adalah sitinggil binaturoto, atau panjangnya adalah siti inggil binatu roto. Artinya tanah tinggi yang tertata baik dengan batu. Manusia adalah tanah itu karna kita terbuat dari saripati tanah, supaya kita inggil (tinggi martabatnya sebagai manusia) harus ditata yang rapi. Artinya kita harus membenahi kualitas kehidupan kita. Dengan apa? ya dengan batu (binatu roto). Batu adalah sebuah benda yang sangat berat dan keras, dan batu dalam kehidupan mistis jawa adalah nglakoni (puasa) itu.

Tidak ada komentar: