Selasa, 30 Juni 2009

MODERNITAS : TITIK AWAL MATINYA TEORI HOMO SOCIUS


MODERNITAS : TITIK AWAL MATINYA TEORI HOMO SOCIUS

Oleh : Ki Kecubung Wulung Pitutur Jati

Kalau kita mendengar kata modern, simpul simpul saraf di otak kita akan membentuk persepsi tentang sesuatu yang baru baik dari sudut pandang scientifik maupun tehnologis. Persepsi ini ini titak terlalu salah sebab secara etimologis modern memang memiliki arti leksikal yang kurang lebih sama, yaitu something that is related to the latest time. Jadi ada prasarat “kebaruan” dalam kata modern. Ironisnya prasarat yang di haruskan ada pada setiap kata modern menjadikan kata ini ambigu, karena yang baru itu akan menjadi lama juga pada akhirnya. Apakah ini bererati sesuatu itu akan menjadi tidak modern lagi lantaran sudah lama eksis di muka bumi ini? Ambiguitas dari makna kata ini membuat kata modern ini mudah sekali kehilangan esensinya dan pudar maknanya. Hal ini perlu kita ketengahkan agar kita semua memahami bahwa istilah modern yang ada pada tulisan ini tidak memiliki makna yang mati, tapi sebaliknya justru sedikit fleksibel dan lentur dalam penerapanya

Terlepas dari persoalan ambiguitas makna kata modern diatas, kita sendiri masih belum tahu sejak kapan sebetulnya kaum modernist ini mulai menghiasi langit langit peradaban manusia. Namun begitu , karna modernisasi selalu serupa dan sebangun dengan tehnologi tinggi (high tech) maka kita bisa merujuk Revolusi Industri di Inggris tahun 1789 sebagai starting point menggelindingnya bola salju modernisasi. Walaupun sebenarnya sesuatu yang dianggap modern di zaman itu tentu saja tidak akan dianggap modern di masa sekarang, namun kita tak bisa banyak berbuat kecuali harus menyebutnya modern juga. Disinilah sebetulnya letak ambiguitas kata ini.

Kalau kita telah sama sama sepakat bahwa modernisasi di mulai tahun 1789, berarti kita juga akan sama sama sepakat bahwa pada masa awalnya modernisasi merupakan upaya masyarakat Inggris untuk menggantikan tehnik-tehnik industri tradisional yang padat karya dengan tehnik-tehnik industri modern yang padat modal dengan dukungan penemuan-penemuan dibidang tehnologi dan pengembangan ilmu pengetahuan. Itu artinya sejak awal bergulirnya, modernisasi memang sudah identik dengan mekanisasi industri dengan penerapam tehnologi maju. Hal inilah yang nantinya mendorong Syed Hussein Alatas men definisikan modernisasi sebagai “ the process by which modern scientific knowledge covering all aspects of human life is introduced at varying degree”.

Kini semakin jelas bagi kita bahwa modernisasi akan selau terkait erat dengan penerapan ilmu pengetahuan dan tehnilogi maju. Saat tehnologi muncul pertama sekali sebagai inti modernitas manusia, tehnologi menampakkan jati dirinya hanya sebagai alat obyektif yang terpisah dari manusia sebagai badan subjeknya. Saat itu tehnologi di kembangkan manusia sekedar sebagai alat bantu untuk menyesuaikan diri dengan alam lingkungan dan tuntutan zaman, dalam artian tehnologi dibutuhkan cuma sebagai alat untuk mempermudah kerja manusia dalam berhubungan dengan alam dimana tenaga manusia sudah tak mampu lagi melakukannya. Oleh karena itu dalam kerangka tehnologi sesungguhnya manusia, menurut Tofler dan Van Peursen, sedang menampilkan dirinya sendiri (eksteriorisasi). Menurut kedua ahli diatas ada tiga tahapan manusia menampakkan jati dirinya lewat tehnologi. Pertama tahap pengembangan tehnik, kedua tahap pengembangan mesin tenaga dan tahapan yang terakhir dari seluruh tahapan adalah tahapan pengembngan tehnologi informasi. Ketiga tahapan tersebut diatas sebetulnya bentuk pengejawantahan diri manusia dalam hal kerja otot manusia, kekuatan otot manusia dan yang terakhur adalah eksterioisasi dari fungsi fungsi otak manusia.

Eksteriorisasi diri manusia melalui tehnologi sebenarnya dapat dipahami sebagai refleksi ketamakan manusia. Kerakusan membuat manusia tidak mau yang sedikit dan juga tidak mau yang lama lama. Mereka pingin yang cepat dan banyak. Dengan menciptakan tehnologi manusia berharap bisa menjarah sumber daya alam (raw materials) dan mengkonsumsinya sebanayak mungkin. Dan industrialisasi yang berbasis tehnologi tersebut merupakan institusi legal bagi penguasaan dan eksploitasi alam secara besar-besaran. Hal ini juga diakui Martin Heidegger yang mengatakan bahwa tehnologi merupakan suatu keberadaan di muka bumi yang mencerminkan manusia yang tercekam dalam keinginan untuk memperbesar kekayaan serta kemudahan baginya terhadap alam dalam rangka eksistensinya.

Sejak awal ditemukan tehnologi modern, manusia makin gigih berinovasi maka tak mengherankan kalau tehnologi makin berkembang dan berbiak dengan cepat. Namun cukup disayangkan sejalan dengan perkembangan tehnologi, fungsi tehnologi pun makin tergeser. Pada awalnya tehnologi hanyalah sekedar alat bantu manusia, tehnologi adalah perpanjangan tangan manusia, tapi makin lama tehnologi telah makin bergerak menjadi sebuah lembaga yang mengexploitasi alam dengan cara yang amat sangat efektif dan efisien.

Di balik topeng tehnologi pandangan manusia terhadap alampun juga berubah, yang dulu alam dipandang sebagai sumber kehidupan, lebenwelt, lingkungan dimana mereka hidup dan manusia memiliki kwajiban untuk bersahabat dengan alam melalui hubungan yang sifatnya kwalitatif, lambat laun alam mulai dianggap komoditi yang bernilai komersil yang memerlukan pendekatan hubungan yang bersifat kwantitatif.

Pembiakan tehnologi dalam framework modernisasi ini sampai pada tahapan tertentu boleh dibilang masih aman dan ada hasilnya. Tapi kerakusan manusia yang didukung tehnologi dalam upaya eksploitasi alam semakin lama menjadi semakin tak terkendali. Mereka lupa bahwa manusia adalah bagian dari alam yang mereka sedang eksploitasi. Mereka tidak menyadari perusakan alam demi kekayaan berarti membahayakan diri sendiri. Mereka lupa selain menikmati kekayaan hasil jarahan dari alam mereka harus juga merasakan polusi, erosi, banjir, kebakaran hutan, rusaknya lapisan ozon, pemanasan global dan sederet lagi akibat buruk eksploitasi alam yang mereka lakukan. Di sini jelas terlihat bahwa tehnologi sebagai inti dari modernisasi telah berubah menjadi bumerang yang merobek leher manusia sendiri.

Bergesernya fungsi tehnologi dari sekedar alat menjadi sebuah lembaga eksploitasi alam membawa dampak yang tidak sedikit pada kemanusiaan. Tehnologi makin menjadi seolah barang hidup yang mampu berkembang biak dengan cepat. Seperti yang kita ketahui tehnologi selalu membutuhkan efisiensi dan efektifitas serta menekankan pada produktifitas yang tinggi. It berarti juga manusia yang menjalankan tehnologi harus juga efektif, efisien dan memiliki target produksi yang tinggi. Di dalam masyarakat tehnologis, harga kemanusiaan bukan lagi diukur dengan ukuran-ukuran kemanusiaan konvensional seperti dari etika, tata susila, moralitas, rasa, cipta dan karsanya, tetapi harga manusia terletak pada efektifitas, efisiensi dan outputnya dalam kerja. Untuk itu manusia dituntut untuk selalu mampu mengintegrasikan setiap penemuan tehnologi yang baru kedalam dirinya kalau tidak ingin ketinggalan dan terasing di tengah masyarakatnya sendiri. Di tengah masyarakat yang seperti ini manusia benar benar akan menjadi bagian yang mudah lapuk dan usang dari tehnologi (Jacob, 1988). Manusia di sini dituntut loyalitasnya terhadap tehnologi. Manusia harus jadi kacung yang baik dari tehnologi agar tehnologi sebagai tuannya mampu menghasilkan produk sebanyak mungkin. Kemudian kita akan menyaksikan manusia kehilangan esensi kemanusiaannya, manusia kehilangan jati dirinya (dehumanisasi).

Tehnologi yang makin tak terkendali bukan saja akan kehilangan esensinya sebagai peralatan tapi justru akan mengancam keselamatan dan eksistensi manusia. Tehnologi yang tadinya diharapkan mampu membawa manusia menuju kehidupan yang serba modern justru menjerumuskan manusia kejurang dehumanisasi yang dalam. Sekarang pun kita bisa melihat bahwa seluruh sikap, pola hidup, dan tingkah laku manusia telah seluruhnya diatur tehnologi. Orientasi kehidupan manusia pun sudah mengambil orientasi tehnologi yang cuma satu satunya, yaitu : hasil. Manusia sekarang harus target oriented untuk bisa bertahan hidup. Di otak manusia tidak boleh ada yang lain kecuali produktifitas yang tinggi. Dan pada akhirnya seluruh tatanan kehidupan manusia nanti akan diatur secara mekanistis. manusia akan jadi robot yang dikendalikan tehnologi.

Tehnologi juga menuntut fragmentasi yang menkotak kotakkan manusia pada dunia spesialisasi kerja dan profesionalisme. Makin tinggi tehnologi yang digunakan pada suatu kelompok masyarakat makin tersepesialisi juga manusia yang tinggal disana. Setiap spesialisasi pasti menutut kejelian serta konsentrasi dan itu artinya manusia hanya akan kenal dirinya sendiri. Dengan begitu bisa dipastikan dari sini nanti akan muncul suatu masyarakat yang egois dan individualis.

Setelah manusia terfragmentasikan kedalam kotak kotak spesialisasi dan manusia makin cuma kenal pada dirinya sendiri dan di otaknya hanya ada tiga kata: efektifitas, efisiensi dan produktifitas, maka manusia sudah praktis kehilangan kemanusiaannya. Manusia akan jadi barang rongsok kalau tidak menujukan produktifitas yang tinggi. Manusia akan semakin egois dan individualis. Pada tataran ini manusia telah benar tercerabut dari akar kemanusiaan. Kehidupan manusia makin terprogram secara mekanis. Dan kalau kita tidak hati hati dalam bertehnologi, dimasa depan kita akan menayakan keberadaan manusia sebagai sebagai makluk sosial.

Jadi suatu hari nanti kalau sidang pembaca melihat dua orang yang duduk berjajar di tempat duduk yang sama dalam waktu yang lama, di bus atau kereta misalnya, tapi mereka tidak saling tegur sapa, kita tidak perlu heran karena kalau tidak dua-duanya bisu, pasti mereka adalah dua manusia yang berasal dari masyarakat tehnologis yang tentunya mereka sudah pula menjadi mesin. Mereka bukan lagi homo socius, makluk sosial yang saling membutuhkan secara sosial. Mereka itu sama saja dengan dua karung peralatan mekanis yang dijajarkan.

Tidak ada komentar: